Kamis, 31 Maret 2011

Tuduhan Terhadap Ekonomika Neoklasik

Dimana-mana fakultas ekonomi di banyak negara, ilmu ekonomi (selanjutnya ekonomika, dari economics, seperti fisika dan matematika pada physics dan mathematics) kerap dituduh sebagai ilmu sosial yang jatuh ke dalam positivmologis. Ekonomika kehilangan watak sosio-humaniora nya, dan kerap bersandar pada bantuan kaidah-kaidah matematik, perekayasaan, dan pendekatan teknokratik lainnya. Akibatnya, pembelajar ekonomika makin terjauhkan dari semangat moral “mencari kebahagiaan yang berkeadilan” dan lebih bergairah dengan upaya pencarian kebenaran kuantitatif dan keuntungan orang per orang.



Di Indonesia sendiri, tuduhan tersebut bukan pemikiran baru. Perlawanan terhadap saintifikasi kajian-kajian ekonomika dilakukan oleh almarhum Prof. Dr. Mubyarto, MA, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, di awal dekade 1980-an. Mubyarto adalah staf ahli Menko Perekonomian kabinet Orde Baru, dan turut aktif dalam perumusan beberapa legislasi di parlemen. Pendekatan-pendekatan ekonomika kontemporer, yang dinilainya makin condong kepada pemahaman-pemahaman sains empirik, telah mereduksi normativitas ilmu tersebut menjadi sebuah kajian sains yang makin memisahkan manusia dari rasa keadilan dan kebahagiaan.


Racun Neoklasik

Mubyarto, dengan kajian Ekonomi Pancasila yang dulu dikembangkannya, menuduh aliran ekonomi Neoklasik sebagai aktor tunggal dibalik perekayasaan ekonomika sebagai sains positif. Mubyarto, yang adalah lulusan Vanderbilt dan doktor Universitas Iowa, mafhum benar watak ekonomika Barat yang pernah dipelajarinya.

Kami telah menelusuri sejumlah masalah yang sungguh memprihatinkan. Kegusaran utama kami adalah bahwa kebijaksanaan pembangunan Indonesia telah dipengaruhi secara tidak wajar dan telah terkecoh oleh teori-teori ekonomi Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak tepat sebagai obat bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini. (Mubyarto, 2002)

Tuduhan tersebut seirama dengan tuduhan-tuduhan lain yang kemudian berkembang pada akhir abad ke-21, antara lain Paul Ormerod dalam bukunya “The Death of Economics” (1992), Steve Keen juga dalam bukunya “Debunking Economics” (2001), atau mantan petinggi Bank Dunia yang akhirnya menjadi pemenang Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz dalam “The Globalization and Its Discontents” (2002). Kritikus-kritikus ekonomi Neoklasik tersebut menyampaikan kegelisahannya atas kegagalan ekonomika Neoklasik modern menjelaskan tidak tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan. Krisis Asia tahun 1998, globalisasi yang menimbulkan ketidakbahagiaan, dan belakangan kasus bencana finansial AS yang disebabkan oleh kasus subprime mortgage, menunjukkan bahwa kebebasan pasar yang digagas oleh kaum Neoklasik justru telah menjauhkan manusia dari kebahagiaan dan keadilan.

Ajaran Neoklasik berawal dari tesis-tesis kebebasan yang dikembangkan oleh anak cucu Adam Smith, antara lain Alfred Marshall (1842-1924) dan Friedrich von Hayek (1899-1992), guru besar ekonomi pada University of Chicago, AS. Aliran ini berfokus pada penetapan mekanisme pasar sebagai mediasi utama bagi kesejahteraan, objektivikasi ekonomika, dan sterilisasi campur tangan pemerintah dalam pasar. Tentu, ortodokasi aliran ini akan sangat berkorelasi dengan upaya perburuan rente, dan pengabaian normatif kelompok masyarakat yang kurang diuntungkan oleh keberadaan harga, bahasa utama sistem pasar. Akibatnya, aliran Neoklasik kurang berhasrat pada naluri keadilan. Watak ingin bebas nilai inilah, yang dilawan oleh Mubyarto. Von Hayek sendiri banyak dituduh sebagai Bapak Neoliberalisme dalam perkembangannya kemudian. Mazhab ini dianut secara kuat oleh Ronald Reagan dan Margareth Thatcher, yang giat memrivatisasi perusahaan-perusahaan publik untuk diserahkan pada mekanisme pasar. Akibatnya, kaum tak berpunya harus kehilangan proteksi harga. Globalisasi yang kemudian ditunggangi keompok ini pun menimbulkan ketidaksenangan akibat ketidakadilan yang dirasakan petani-petani kopi di Brazil dan berbagai negara berkembang, sebagaimana dikutuk oleh Stiglitz.

Pada tahun 1997, Robert C. Merton dan Myron S. Scholes menerima hadiah Nobel Ekonomi untuk kajian mereka berjudul “Option Pricing When Underlying Stock Prices Are Discontinuous”, yang terbit tahun 1976. Keduanya dianggap berjasa bagi peradaban umat manusia karena membuka cakrawala baru dalam penemuan metode penilaian instrumen-instrumen derivatif. Merton, yang adalah mahasiswa Harvard ampuan dosen ekonomika MIT yang juga penerima Nobel Ekonomi, Paul Samuelson, mengembangkan kajian yang penuh dengan muatan-muatan matematik dan statistik stokastik yang sangat tidak sederhana. Ia dikabarkan dibantu juga oleh William Sharpe, pemenang Nobel Ekonomi yang berjasa menemukan Capital Assets Pricing Model (CAPM). Setelah penerimaan Nobelnya itu, kedua begawan tersebut lalu mendirikan Long-Term Capital Management (LTCM), sebuah lembaga investasi dan manajemen dana di AS yang banyak bergerak dalam instrumen derivatif.

Sungguh mengejutkan, lembaga yang didirikan kedua pemenang Nobel itu bangkrut kemudian. Pemerintahan Clinton sampai harus mengeluarkan dana taktis US$3,6 triliun untuk menalangi kerugian finansial yang ditimbulkan (jumlah ini diatas median PDB negara-negara Afrika saat itu). Ia jatuh, justru oleh posisi derivatif yang diambilnya sendiri. Sebuah keahlian menampik risiko yang membawa mereka meraih Nobel, rupanya tak teruji secara empirik.

Fakta tersebut mengejutkan panitia Nobel. Kekecewaan besar timbul atas kapitalisme dan pemikiran Neoklasik yang menyangganya. Itulah sebabnya, Nobel Ekonomi berikutnya, tahun 1998, segera jatuh pada Amartya Sen, seorang ekonom India lulusan Harvard yang peduli pada kemiskinan dan banyak berbicara soal keadilan sosial. Sveriges Riksbank menghitungnya berjasa bagi peradaban “for his contributions to welfare economics”.


Kejatuhan LTCM yang dipunggawa selaksa pasukan ekonom Neoklasik pemenang Nobel menjadi pelajaran berarti. Pendewaan terhadap sains bukanlah segalanya. Sebagaimana agama dan iman sejatinya memanggil manusia kepada upaya kontemplatif pencarian kebenaran, demikian juga ekonomika, seharusnya sungguh-sungguh membawa manusia kepada pencarian kesejahteraan dan keadilan sosial sebagai sebuah kebahagiaan yang sebenar. Tidaklah mengherankan, bila ekonom Bangladesh jebolan Harvard lain, Muhammad Yunus, dianugerahi Nobel bukan untuk kategori Ekonomi, tetapi Perdamaian. Ia, membawa orang-orang miskin di negerinya meretas jalan setapak meraih sejahtera.

Krisis Asia 1998 dan Krisis Finansial Amerika tahun 2008 lalu, adalah pelajaran berharga lain bahwa pendekatan ekonomika Neoklasik yang sarat pendewaan saintifikasi dan kuantitatif bukanlah segalanya. Ekonomika, tidak bebas nilai. Ia, dipanggil untuk diaplikasikan secara kontekstual sesuai nilai-nilai masyarakatnya.

Rehumanioranisasi dan Kontekstualisasi Ekonomika


Tuntutan Prof. Mubyarto agaknya masih bermuat moral. Ekonomika, harus didudukkan kembali dalam kodrat ilmu-ilmu sosial. Ia harus bekerjasama secara multidisipliner dengan antropologi, sosiologi, dan politik. Di Indonesia sendiri, banyak fakta empirik bahwa fenomena kegagalan ekonomika lebih dijelaskan oleh variabel yang terkadang samasekali non ekonomi, misalnya politik dan kelembagaan. Relatif lambatnya pengembalian aset BPPN pasca krisis dibandingkan KAMCO Korea atau Danaharta Malaysia adalah salah satu contoh menarik. Kegagalan tersebut memperlambat pulihnya Indonesia dari krisis dibanding negara-negara Asia lainnya. Para obligor memiliki kedekatan tertentu dengan lingkar-lingkar politik elitis. Dalam hal ini, mazhab institutional economics rintisan Thorstein Bunde Veblen atau Gunnar Myrdal misalnya, akan terasa lebih banyak membantu menjelaskan realitas.

Kekayaan mazhab inilah yang harus diperjuangkan para pendidik ekonomika. Nafas sosiohumaniora, sangat perlu mengimbangi pendekatan-pendekatan teknis empirik matematik. Penulis melihat, watak humaniora ilmu ekonomi berada pada tataran moral, nilai dan keberpihakan. Watak sosial ekonomika terlihat jelas misalnya dalam behavioral finance, yang tidak bisa dijelaskan begitu saja hanya dengan model-model matematik. Keengganan sejenis investor pasar modal pecinta lingkungan tertentu, yang menolak membeli dan mau melepas saham-saham perusahaan produsen pakaian bulu hewan atau penebang hutan yang agresif misalnya, sulit dijelaskan dengan kaidah ekonomika positif ala Neoklasik.

Adalah kesalahan para guru dan dosen ekonomika sendiri, jika ekonomika saat ini dituduh demikian. Para pengajar hanya memperkenalkan pemikiran Adam Smith dalam “The Wealth of Nations” (1776) yang berwatak individualis (homo economicus) kepada peserta didik ketimbang misalnya, “The Theory of Moral Sentiments” (1756) yang lebih awal, yang justru banyak berbicara tentang kesejahteraan komunal manusia sebagai homo socious. Ini terjadi, sebab wawasan para pendidik memang terbatas. John Kenneth Galbraith (1908-2006), ekonom Keynesian Kanada, meresahkan pendekatan Neoklasik yang lagi-lagi muncul begitu saja pada banyak situasi dan karenanya menjadi miskin perspektif kontekstual:

“… it is the available doctrine. Students arrive: something must be taught; (and) the Neoclassical model exists” (Galbraith, 1985)

Maka tentu, kita harus tetap mengembangkan pendekatan yang selalu mampu membaca konteks ke-Indonesia-an. Matakuliah-matakuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi, Perekonomian Indonesia, dan Perbandingan Sistem Ekonomi, dalam hemat penulis akan mampu memberi warna keberpihakan ideologis bagi para pembelajar, sehingga selayaknya ditempatkan di akhir masa studi sebagai penutup.

Namun tentu kita juga berkeberatan, bila pendekatan-pendekatan saintifik positif tersebut dikesampingkan sepenuhnya begitu saja dari metoda pendidikan ekonomika. Ilmu memerlukan alat. Ia, tidak bisa memisahkan diri begitu saja dari statistika, matematika dan ekonometrika. Tanpa alat, kajian ilmu menjadi lumpuh. Sebagaimana dikemukakan Jan Tinbergen peraih Nobel Ekonomi pertama, penguasaan atas alat-alat kuantitatif, adalah pintu masuk utama kepada riset ekonomika.
(by:Anggoro Budi Nugroho, MBA)