Lir-ilir, Lir Ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Cah Angon, Cah Angon
Penekno Blimbing Kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo Mbasuh Dodotiro
Dodotiro Dodotiro
Kumitir Bedah ing pinggir
Dondomono, Jlumatono
Kanggo Sebo Mengko sore
Mumpung Padhang Rembulane
Mumpung Jembar Kalangane
Yo surako surak Iyo!!!
Tembang diatas pasti sudah akrab ditelinga kita
apalagi bagi orang-orang jawa yang notabene berada dalam wilayah penyebaran agama Wali Songo
tidak sedikit orang yang mencoba untuk menguraikan makna tembang diatas baik dalam konteks hubungannya dengan sejarah, syariat Islam bahkan Hakikat yang terkandung di dalamnya.
pada tulisan singkat ini Khaylif mencoba untuk sedikit menguraikan makna dari tembang tersebut, jika ada kekurangan atau kesalahan adalah karena keterbatasan Khaylif dalam pemahaman semoga Alloh memaafkan dan jika ada kebaikannya hal itu semata-mata datang dari Alloh SWT
Makna tembang tersebut menurut Khaylif:
1. Lir-ilir, Lir-ilir (Bangunlah, bangunlah)
Tandure wus sumilir (Tanaman sudah bersemi)
Tak ijo royo-royo (Demikian menghijau)
Tak sengguh temanten anyar (Bagaikan pengantin baru)
Makna: Sebagai umat Islam kita diminta bangun. Bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Alloh dalam diri kita yang dalam ini dilambangkan dengan Tanaman yang mulai bersemi dan demikian menghijau. Terserah kepada kita, mau tetap tidur dan membiarkan tanaman iman kita mati atau bangun dan berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga besar dan mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru.
2 Cah angon, cah angon (Anak gembala, anak gembala)
Penekno Blimbing kuwi (Panjatlah (pohon) belimbing itu)
Lunyu-lunyu penekno (Biar licin dan susah tetaplah kau panjat)
Kanggo mbasuh dodotiro (untuk membasuh pakaianmu)
Makna: Disini disebut anak gembala karena oleh Alloh, kita telah diberikan sesuatu untuk digembalakan yaitu HATI. Bisakah kita menggembalakan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya?
Si anak gembala diminta memanjat pohon belimbing yang notabene buah belimbing bergerigi lima buah. Buah belimbing disini menggambarkan lima rukun Islam. Jadi meskipun licin, meskipun susah kita harus tetap memanjat pohon belimbing tersebut dalam arti sekuat tenaga kita tetap berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya.
Lalu apa gunanya? Gunanya adalah untuk mencuci pakaian kita yaitu pakaian taqwa.
3. Dodotiro, dodotiro (Pakaianmu, pakaianmu)
Kumitir bedah ing pinggir (terkoyak-koyak dibagian samping)
Dondomono, Jlumatono (Jahitlah, Benahilah!!)
Kanggo sebo mengko sore (untuk menghadap nanti sore)
Makna: Pakaian taqwa kita sebagai manusia biasa pasti terkoyak dan berlubang di sana sini, untuk itu kita diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap ketika dipanggil menghadap kehadirat Alloh SWT.
4. Mumpung padhang rembulane (Mumpung bulan bersinar terang)
Mumpung jembar kalangane (mumpung banyak waktu luang)
Yo surako surak iyo!!! (Bersoraklah dengan sorakan Iya!!!)
Makna: Kita diharapkan melakukan hal-hal diatas (no 1-3) ketika kita masih sehat (dialambangkan dengan terangnya bulan) dan masih mempunyai banyak waktu luang dan jika ada yang mengingatkan maka jawablah dengan Iya!!!
Lir ilir, judul dari tembang di atas. Bukan sekedar tembang dolanan biasa, tapi tembang di atas mengandung makna yang sangat mendalam. Tembang karya Kanjeng Sunan ini memberikan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah. Carrol McLaughlin, seorang profesor harpa dari Arizona University terkagum kagum dengan tembang ini, beliau sering memainkannya. Maya Hasan, seorang pemain Harpa dari Indonesia pernah mengatakan bahwa dia ingin mengerti filosofi dari lagu ini. Para pemain Harpa seperti Maya Hasan (Indonesia), Carrol McLaughlin (Kanada), Hiroko Saito (Jepang), Kellie Marie Cousineau (Amerika Serikat), dan Lizary Rodrigues (Puerto Rico) pernah menterjemahkan lagu ini dalam musik Jazz pada konser musik “Harp to Heart“.
Apakah makna mendalam dari tembang ini? Mari kita coba mengupas maknanya
Lir-ilir, lir-ilir tembang ini diawalii dengan ilir-ilir yang artinya bangun-bangun atau bisa diartikan hiduplah (karena sejatinya tidur itu mati) bisa juga diartikan sebagai sadarlah. Tetapi yang perlu dikaji lagi, apa yang perlu untuk dibangunkan?Apa yang perlu dihidupkan? hidupnya Apa ? Ruh? kesadaran ? Pikiran? terserah kita yang penting ada sesuatu yang dihidupkan, dan jangan lupa disini ada unsur angin, berarti cara menghidupkannya ada gerak..(kita fikirkan ini)..gerak menghasilkan udara. ini adalah ajakan untuk berdzikir. Dengan berdzikir, maka ada sesuatu yang dihidupkan.
tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar. Bait ini mengandung makna kalau sudah berdzikir maka disitu akan didapatkan manfaat yang dapat menghidupkan pohon yang hijau dan indah. Pohon di sini artinya adalah sesuatu yang memiliki banyak manfaat bagi kita. Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-Raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya.
Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi. Mengapa kok “Cah angon” ? Bukan “Pak Jendral” , “Pak Presiden” atau yang lain? Mengapa dipilih “Cah angon” ? Cah angon maksudnya adalah seorang yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan yang benar. Lalu,kenapa “Blimbing” ? Ingat sekali lagi, bahwa blimbing berwarna hijau (ciri khas Islam) dan memiliki 5 sisi. Jadi blimbing itu adalah isyarat dari agama Islam, yang dicerminkan dari 5 sisi buah blimbing yang menggambarkan rukun Islam yang merupakan Dasar dari agama Islam. Kenapa “Penekno” ? ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk mengambil Islam dan dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejak para Raja itu dalam melaksanakan Islam.
Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro. Walaupun dengan bersusah payah, walupun penuh rintangan, tetaplah ambil untuk membersihkan pakaian kita. Yang dimaksud pakaian adalah taqwa. Pakaian taqwa ini yang harus dibersihkan.
Dodotiro dodotiro, kumitir bedah ing pinggir. Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita singkirkan, kita tinggalkan, perbaiki, rajutlah hingga menjadi pakain yang indah ”sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa“.
dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore. Pesan dari para Wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu. Maka benahilah dan sempurnakanlah ke-Islamanmu agar kamu selamat pada hari pertanggungjawaban kelak.
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane. Para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata, ketika usia masih menempel pada hayat kita.
Yo surako surak hiyo. Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai “mari kita terapkan syariat Islam” sebagai tanda kebahagiaan. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (Al-Anfal :25)
* Diambil dari berbagai sumber. Mohon dikoreksi jika ada kesalahan, karena saya juga manusia yang tak pernah lepas dari salah dan dosa.
(dikutip dari mas manto)
Sabtu, 21 Mei 2011
Kamis, 31 Maret 2011
Tuduhan Terhadap Ekonomika Neoklasik
Dimana-mana fakultas ekonomi di banyak negara, ilmu ekonomi (selanjutnya ekonomika, dari economics, seperti fisika dan matematika pada physics dan mathematics) kerap dituduh sebagai ilmu sosial yang jatuh ke dalam positivmologis. Ekonomika kehilangan watak sosio-humaniora nya, dan kerap bersandar pada bantuan kaidah-kaidah matematik, perekayasaan, dan pendekatan teknokratik lainnya. Akibatnya, pembelajar ekonomika makin terjauhkan dari semangat moral “mencari kebahagiaan yang berkeadilan” dan lebih bergairah dengan upaya pencarian kebenaran kuantitatif dan keuntungan orang per orang.
Di Indonesia sendiri, tuduhan tersebut bukan pemikiran baru. Perlawanan terhadap saintifikasi kajian-kajian ekonomika dilakukan oleh almarhum Prof. Dr. Mubyarto, MA, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, di awal dekade 1980-an. Mubyarto adalah staf ahli Menko Perekonomian kabinet Orde Baru, dan turut aktif dalam perumusan beberapa legislasi di parlemen. Pendekatan-pendekatan ekonomika kontemporer, yang dinilainya makin condong kepada pemahaman-pemahaman sains empirik, telah mereduksi normativitas ilmu tersebut menjadi sebuah kajian sains yang makin memisahkan manusia dari rasa keadilan dan kebahagiaan.
Racun Neoklasik
Mubyarto, dengan kajian Ekonomi Pancasila yang dulu dikembangkannya, menuduh aliran ekonomi Neoklasik sebagai aktor tunggal dibalik perekayasaan ekonomika sebagai sains positif. Mubyarto, yang adalah lulusan Vanderbilt dan doktor Universitas Iowa, mafhum benar watak ekonomika Barat yang pernah dipelajarinya.
Kami telah menelusuri sejumlah masalah yang sungguh memprihatinkan. Kegusaran utama kami adalah bahwa kebijaksanaan pembangunan Indonesia telah dipengaruhi secara tidak wajar dan telah terkecoh oleh teori-teori ekonomi Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak tepat sebagai obat bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini. (Mubyarto, 2002)
Tuduhan tersebut seirama dengan tuduhan-tuduhan lain yang kemudian berkembang pada akhir abad ke-21, antara lain Paul Ormerod dalam bukunya “The Death of Economics” (1992), Steve Keen juga dalam bukunya “Debunking Economics” (2001), atau mantan petinggi Bank Dunia yang akhirnya menjadi pemenang Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz dalam “The Globalization and Its Discontents” (2002). Kritikus-kritikus ekonomi Neoklasik tersebut menyampaikan kegelisahannya atas kegagalan ekonomika Neoklasik modern menjelaskan tidak tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan. Krisis Asia tahun 1998, globalisasi yang menimbulkan ketidakbahagiaan, dan belakangan kasus bencana finansial AS yang disebabkan oleh kasus subprime mortgage, menunjukkan bahwa kebebasan pasar yang digagas oleh kaum Neoklasik justru telah menjauhkan manusia dari kebahagiaan dan keadilan.
Ajaran Neoklasik berawal dari tesis-tesis kebebasan yang dikembangkan oleh anak cucu Adam Smith, antara lain Alfred Marshall (1842-1924) dan Friedrich von Hayek (1899-1992), guru besar ekonomi pada University of Chicago, AS. Aliran ini berfokus pada penetapan mekanisme pasar sebagai mediasi utama bagi kesejahteraan, objektivikasi ekonomika, dan sterilisasi campur tangan pemerintah dalam pasar. Tentu, ortodokasi aliran ini akan sangat berkorelasi dengan upaya perburuan rente, dan pengabaian normatif kelompok masyarakat yang kurang diuntungkan oleh keberadaan harga, bahasa utama sistem pasar. Akibatnya, aliran Neoklasik kurang berhasrat pada naluri keadilan. Watak ingin bebas nilai inilah, yang dilawan oleh Mubyarto. Von Hayek sendiri banyak dituduh sebagai Bapak Neoliberalisme dalam perkembangannya kemudian. Mazhab ini dianut secara kuat oleh Ronald Reagan dan Margareth Thatcher, yang giat memrivatisasi perusahaan-perusahaan publik untuk diserahkan pada mekanisme pasar. Akibatnya, kaum tak berpunya harus kehilangan proteksi harga. Globalisasi yang kemudian ditunggangi keompok ini pun menimbulkan ketidaksenangan akibat ketidakadilan yang dirasakan petani-petani kopi di Brazil dan berbagai negara berkembang, sebagaimana dikutuk oleh Stiglitz.
Pada tahun 1997, Robert C. Merton dan Myron S. Scholes menerima hadiah Nobel Ekonomi untuk kajian mereka berjudul “Option Pricing When Underlying Stock Prices Are Discontinuous”, yang terbit tahun 1976. Keduanya dianggap berjasa bagi peradaban umat manusia karena membuka cakrawala baru dalam penemuan metode penilaian instrumen-instrumen derivatif. Merton, yang adalah mahasiswa Harvard ampuan dosen ekonomika MIT yang juga penerima Nobel Ekonomi, Paul Samuelson, mengembangkan kajian yang penuh dengan muatan-muatan matematik dan statistik stokastik yang sangat tidak sederhana. Ia dikabarkan dibantu juga oleh William Sharpe, pemenang Nobel Ekonomi yang berjasa menemukan Capital Assets Pricing Model (CAPM). Setelah penerimaan Nobelnya itu, kedua begawan tersebut lalu mendirikan Long-Term Capital Management (LTCM), sebuah lembaga investasi dan manajemen dana di AS yang banyak bergerak dalam instrumen derivatif.
Sungguh mengejutkan, lembaga yang didirikan kedua pemenang Nobel itu bangkrut kemudian. Pemerintahan Clinton sampai harus mengeluarkan dana taktis US$3,6 triliun untuk menalangi kerugian finansial yang ditimbulkan (jumlah ini diatas median PDB negara-negara Afrika saat itu). Ia jatuh, justru oleh posisi derivatif yang diambilnya sendiri. Sebuah keahlian menampik risiko yang membawa mereka meraih Nobel, rupanya tak teruji secara empirik.
Fakta tersebut mengejutkan panitia Nobel. Kekecewaan besar timbul atas kapitalisme dan pemikiran Neoklasik yang menyangganya. Itulah sebabnya, Nobel Ekonomi berikutnya, tahun 1998, segera jatuh pada Amartya Sen, seorang ekonom India lulusan Harvard yang peduli pada kemiskinan dan banyak berbicara soal keadilan sosial. Sveriges Riksbank menghitungnya berjasa bagi peradaban “for his contributions to welfare economics”.
Kejatuhan LTCM yang dipunggawa selaksa pasukan ekonom Neoklasik pemenang Nobel menjadi pelajaran berarti. Pendewaan terhadap sains bukanlah segalanya. Sebagaimana agama dan iman sejatinya memanggil manusia kepada upaya kontemplatif pencarian kebenaran, demikian juga ekonomika, seharusnya sungguh-sungguh membawa manusia kepada pencarian kesejahteraan dan keadilan sosial sebagai sebuah kebahagiaan yang sebenar. Tidaklah mengherankan, bila ekonom Bangladesh jebolan Harvard lain, Muhammad Yunus, dianugerahi Nobel bukan untuk kategori Ekonomi, tetapi Perdamaian. Ia, membawa orang-orang miskin di negerinya meretas jalan setapak meraih sejahtera.
Krisis Asia 1998 dan Krisis Finansial Amerika tahun 2008 lalu, adalah pelajaran berharga lain bahwa pendekatan ekonomika Neoklasik yang sarat pendewaan saintifikasi dan kuantitatif bukanlah segalanya. Ekonomika, tidak bebas nilai. Ia, dipanggil untuk diaplikasikan secara kontekstual sesuai nilai-nilai masyarakatnya.
Rehumanioranisasi dan Kontekstualisasi Ekonomika
Tuntutan Prof. Mubyarto agaknya masih bermuat moral. Ekonomika, harus didudukkan kembali dalam kodrat ilmu-ilmu sosial. Ia harus bekerjasama secara multidisipliner dengan antropologi, sosiologi, dan politik. Di Indonesia sendiri, banyak fakta empirik bahwa fenomena kegagalan ekonomika lebih dijelaskan oleh variabel yang terkadang samasekali non ekonomi, misalnya politik dan kelembagaan. Relatif lambatnya pengembalian aset BPPN pasca krisis dibandingkan KAMCO Korea atau Danaharta Malaysia adalah salah satu contoh menarik. Kegagalan tersebut memperlambat pulihnya Indonesia dari krisis dibanding negara-negara Asia lainnya. Para obligor memiliki kedekatan tertentu dengan lingkar-lingkar politik elitis. Dalam hal ini, mazhab institutional economics rintisan Thorstein Bunde Veblen atau Gunnar Myrdal misalnya, akan terasa lebih banyak membantu menjelaskan realitas.
Kekayaan mazhab inilah yang harus diperjuangkan para pendidik ekonomika. Nafas sosiohumaniora, sangat perlu mengimbangi pendekatan-pendekatan teknis empirik matematik. Penulis melihat, watak humaniora ilmu ekonomi berada pada tataran moral, nilai dan keberpihakan. Watak sosial ekonomika terlihat jelas misalnya dalam behavioral finance, yang tidak bisa dijelaskan begitu saja hanya dengan model-model matematik. Keengganan sejenis investor pasar modal pecinta lingkungan tertentu, yang menolak membeli dan mau melepas saham-saham perusahaan produsen pakaian bulu hewan atau penebang hutan yang agresif misalnya, sulit dijelaskan dengan kaidah ekonomika positif ala Neoklasik.
Adalah kesalahan para guru dan dosen ekonomika sendiri, jika ekonomika saat ini dituduh demikian. Para pengajar hanya memperkenalkan pemikiran Adam Smith dalam “The Wealth of Nations” (1776) yang berwatak individualis (homo economicus) kepada peserta didik ketimbang misalnya, “The Theory of Moral Sentiments” (1756) yang lebih awal, yang justru banyak berbicara tentang kesejahteraan komunal manusia sebagai homo socious. Ini terjadi, sebab wawasan para pendidik memang terbatas. John Kenneth Galbraith (1908-2006), ekonom Keynesian Kanada, meresahkan pendekatan Neoklasik yang lagi-lagi muncul begitu saja pada banyak situasi dan karenanya menjadi miskin perspektif kontekstual:
“… it is the available doctrine. Students arrive: something must be taught; (and) the Neoclassical model exists” (Galbraith, 1985)
Maka tentu, kita harus tetap mengembangkan pendekatan yang selalu mampu membaca konteks ke-Indonesia-an. Matakuliah-matakuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi, Perekonomian Indonesia, dan Perbandingan Sistem Ekonomi, dalam hemat penulis akan mampu memberi warna keberpihakan ideologis bagi para pembelajar, sehingga selayaknya ditempatkan di akhir masa studi sebagai penutup.
Namun tentu kita juga berkeberatan, bila pendekatan-pendekatan saintifik positif tersebut dikesampingkan sepenuhnya begitu saja dari metoda pendidikan ekonomika. Ilmu memerlukan alat. Ia, tidak bisa memisahkan diri begitu saja dari statistika, matematika dan ekonometrika. Tanpa alat, kajian ilmu menjadi lumpuh. Sebagaimana dikemukakan Jan Tinbergen peraih Nobel Ekonomi pertama, penguasaan atas alat-alat kuantitatif, adalah pintu masuk utama kepada riset ekonomika.
(by:Anggoro Budi Nugroho, MBA)
Di Indonesia sendiri, tuduhan tersebut bukan pemikiran baru. Perlawanan terhadap saintifikasi kajian-kajian ekonomika dilakukan oleh almarhum Prof. Dr. Mubyarto, MA, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, di awal dekade 1980-an. Mubyarto adalah staf ahli Menko Perekonomian kabinet Orde Baru, dan turut aktif dalam perumusan beberapa legislasi di parlemen. Pendekatan-pendekatan ekonomika kontemporer, yang dinilainya makin condong kepada pemahaman-pemahaman sains empirik, telah mereduksi normativitas ilmu tersebut menjadi sebuah kajian sains yang makin memisahkan manusia dari rasa keadilan dan kebahagiaan.
Racun Neoklasik
Mubyarto, dengan kajian Ekonomi Pancasila yang dulu dikembangkannya, menuduh aliran ekonomi Neoklasik sebagai aktor tunggal dibalik perekayasaan ekonomika sebagai sains positif. Mubyarto, yang adalah lulusan Vanderbilt dan doktor Universitas Iowa, mafhum benar watak ekonomika Barat yang pernah dipelajarinya.
Kami telah menelusuri sejumlah masalah yang sungguh memprihatinkan. Kegusaran utama kami adalah bahwa kebijaksanaan pembangunan Indonesia telah dipengaruhi secara tidak wajar dan telah terkecoh oleh teori-teori ekonomi Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak tepat sebagai obat bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini. (Mubyarto, 2002)
Tuduhan tersebut seirama dengan tuduhan-tuduhan lain yang kemudian berkembang pada akhir abad ke-21, antara lain Paul Ormerod dalam bukunya “The Death of Economics” (1992), Steve Keen juga dalam bukunya “Debunking Economics” (2001), atau mantan petinggi Bank Dunia yang akhirnya menjadi pemenang Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz dalam “The Globalization and Its Discontents” (2002). Kritikus-kritikus ekonomi Neoklasik tersebut menyampaikan kegelisahannya atas kegagalan ekonomika Neoklasik modern menjelaskan tidak tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan. Krisis Asia tahun 1998, globalisasi yang menimbulkan ketidakbahagiaan, dan belakangan kasus bencana finansial AS yang disebabkan oleh kasus subprime mortgage, menunjukkan bahwa kebebasan pasar yang digagas oleh kaum Neoklasik justru telah menjauhkan manusia dari kebahagiaan dan keadilan.
Ajaran Neoklasik berawal dari tesis-tesis kebebasan yang dikembangkan oleh anak cucu Adam Smith, antara lain Alfred Marshall (1842-1924) dan Friedrich von Hayek (1899-1992), guru besar ekonomi pada University of Chicago, AS. Aliran ini berfokus pada penetapan mekanisme pasar sebagai mediasi utama bagi kesejahteraan, objektivikasi ekonomika, dan sterilisasi campur tangan pemerintah dalam pasar. Tentu, ortodokasi aliran ini akan sangat berkorelasi dengan upaya perburuan rente, dan pengabaian normatif kelompok masyarakat yang kurang diuntungkan oleh keberadaan harga, bahasa utama sistem pasar. Akibatnya, aliran Neoklasik kurang berhasrat pada naluri keadilan. Watak ingin bebas nilai inilah, yang dilawan oleh Mubyarto. Von Hayek sendiri banyak dituduh sebagai Bapak Neoliberalisme dalam perkembangannya kemudian. Mazhab ini dianut secara kuat oleh Ronald Reagan dan Margareth Thatcher, yang giat memrivatisasi perusahaan-perusahaan publik untuk diserahkan pada mekanisme pasar. Akibatnya, kaum tak berpunya harus kehilangan proteksi harga. Globalisasi yang kemudian ditunggangi keompok ini pun menimbulkan ketidaksenangan akibat ketidakadilan yang dirasakan petani-petani kopi di Brazil dan berbagai negara berkembang, sebagaimana dikutuk oleh Stiglitz.
Pada tahun 1997, Robert C. Merton dan Myron S. Scholes menerima hadiah Nobel Ekonomi untuk kajian mereka berjudul “Option Pricing When Underlying Stock Prices Are Discontinuous”, yang terbit tahun 1976. Keduanya dianggap berjasa bagi peradaban umat manusia karena membuka cakrawala baru dalam penemuan metode penilaian instrumen-instrumen derivatif. Merton, yang adalah mahasiswa Harvard ampuan dosen ekonomika MIT yang juga penerima Nobel Ekonomi, Paul Samuelson, mengembangkan kajian yang penuh dengan muatan-muatan matematik dan statistik stokastik yang sangat tidak sederhana. Ia dikabarkan dibantu juga oleh William Sharpe, pemenang Nobel Ekonomi yang berjasa menemukan Capital Assets Pricing Model (CAPM). Setelah penerimaan Nobelnya itu, kedua begawan tersebut lalu mendirikan Long-Term Capital Management (LTCM), sebuah lembaga investasi dan manajemen dana di AS yang banyak bergerak dalam instrumen derivatif.
Sungguh mengejutkan, lembaga yang didirikan kedua pemenang Nobel itu bangkrut kemudian. Pemerintahan Clinton sampai harus mengeluarkan dana taktis US$3,6 triliun untuk menalangi kerugian finansial yang ditimbulkan (jumlah ini diatas median PDB negara-negara Afrika saat itu). Ia jatuh, justru oleh posisi derivatif yang diambilnya sendiri. Sebuah keahlian menampik risiko yang membawa mereka meraih Nobel, rupanya tak teruji secara empirik.
Fakta tersebut mengejutkan panitia Nobel. Kekecewaan besar timbul atas kapitalisme dan pemikiran Neoklasik yang menyangganya. Itulah sebabnya, Nobel Ekonomi berikutnya, tahun 1998, segera jatuh pada Amartya Sen, seorang ekonom India lulusan Harvard yang peduli pada kemiskinan dan banyak berbicara soal keadilan sosial. Sveriges Riksbank menghitungnya berjasa bagi peradaban “for his contributions to welfare economics”.
Kejatuhan LTCM yang dipunggawa selaksa pasukan ekonom Neoklasik pemenang Nobel menjadi pelajaran berarti. Pendewaan terhadap sains bukanlah segalanya. Sebagaimana agama dan iman sejatinya memanggil manusia kepada upaya kontemplatif pencarian kebenaran, demikian juga ekonomika, seharusnya sungguh-sungguh membawa manusia kepada pencarian kesejahteraan dan keadilan sosial sebagai sebuah kebahagiaan yang sebenar. Tidaklah mengherankan, bila ekonom Bangladesh jebolan Harvard lain, Muhammad Yunus, dianugerahi Nobel bukan untuk kategori Ekonomi, tetapi Perdamaian. Ia, membawa orang-orang miskin di negerinya meretas jalan setapak meraih sejahtera.
Krisis Asia 1998 dan Krisis Finansial Amerika tahun 2008 lalu, adalah pelajaran berharga lain bahwa pendekatan ekonomika Neoklasik yang sarat pendewaan saintifikasi dan kuantitatif bukanlah segalanya. Ekonomika, tidak bebas nilai. Ia, dipanggil untuk diaplikasikan secara kontekstual sesuai nilai-nilai masyarakatnya.
Rehumanioranisasi dan Kontekstualisasi Ekonomika
Tuntutan Prof. Mubyarto agaknya masih bermuat moral. Ekonomika, harus didudukkan kembali dalam kodrat ilmu-ilmu sosial. Ia harus bekerjasama secara multidisipliner dengan antropologi, sosiologi, dan politik. Di Indonesia sendiri, banyak fakta empirik bahwa fenomena kegagalan ekonomika lebih dijelaskan oleh variabel yang terkadang samasekali non ekonomi, misalnya politik dan kelembagaan. Relatif lambatnya pengembalian aset BPPN pasca krisis dibandingkan KAMCO Korea atau Danaharta Malaysia adalah salah satu contoh menarik. Kegagalan tersebut memperlambat pulihnya Indonesia dari krisis dibanding negara-negara Asia lainnya. Para obligor memiliki kedekatan tertentu dengan lingkar-lingkar politik elitis. Dalam hal ini, mazhab institutional economics rintisan Thorstein Bunde Veblen atau Gunnar Myrdal misalnya, akan terasa lebih banyak membantu menjelaskan realitas.
Kekayaan mazhab inilah yang harus diperjuangkan para pendidik ekonomika. Nafas sosiohumaniora, sangat perlu mengimbangi pendekatan-pendekatan teknis empirik matematik. Penulis melihat, watak humaniora ilmu ekonomi berada pada tataran moral, nilai dan keberpihakan. Watak sosial ekonomika terlihat jelas misalnya dalam behavioral finance, yang tidak bisa dijelaskan begitu saja hanya dengan model-model matematik. Keengganan sejenis investor pasar modal pecinta lingkungan tertentu, yang menolak membeli dan mau melepas saham-saham perusahaan produsen pakaian bulu hewan atau penebang hutan yang agresif misalnya, sulit dijelaskan dengan kaidah ekonomika positif ala Neoklasik.
Adalah kesalahan para guru dan dosen ekonomika sendiri, jika ekonomika saat ini dituduh demikian. Para pengajar hanya memperkenalkan pemikiran Adam Smith dalam “The Wealth of Nations” (1776) yang berwatak individualis (homo economicus) kepada peserta didik ketimbang misalnya, “The Theory of Moral Sentiments” (1756) yang lebih awal, yang justru banyak berbicara tentang kesejahteraan komunal manusia sebagai homo socious. Ini terjadi, sebab wawasan para pendidik memang terbatas. John Kenneth Galbraith (1908-2006), ekonom Keynesian Kanada, meresahkan pendekatan Neoklasik yang lagi-lagi muncul begitu saja pada banyak situasi dan karenanya menjadi miskin perspektif kontekstual:
“… it is the available doctrine. Students arrive: something must be taught; (and) the Neoclassical model exists” (Galbraith, 1985)
Maka tentu, kita harus tetap mengembangkan pendekatan yang selalu mampu membaca konteks ke-Indonesia-an. Matakuliah-matakuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi, Perekonomian Indonesia, dan Perbandingan Sistem Ekonomi, dalam hemat penulis akan mampu memberi warna keberpihakan ideologis bagi para pembelajar, sehingga selayaknya ditempatkan di akhir masa studi sebagai penutup.
Namun tentu kita juga berkeberatan, bila pendekatan-pendekatan saintifik positif tersebut dikesampingkan sepenuhnya begitu saja dari metoda pendidikan ekonomika. Ilmu memerlukan alat. Ia, tidak bisa memisahkan diri begitu saja dari statistika, matematika dan ekonometrika. Tanpa alat, kajian ilmu menjadi lumpuh. Sebagaimana dikemukakan Jan Tinbergen peraih Nobel Ekonomi pertama, penguasaan atas alat-alat kuantitatif, adalah pintu masuk utama kepada riset ekonomika.
(by:Anggoro Budi Nugroho, MBA)
Langganan:
Postingan (Atom)